Pages

Jumat, Maret 13, 2009

Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial


Kata-kata sebagaiman judul diatas adalah kata-kata yang sering aku dengar ketika masih kuliah dulu,maklum aku kuliah di "Kampus Putih", istilah buat perguruan tinggi yang menyelenggarakan kuliah ilmu-ilmu agama. Aku dan kawan-kawanku dulu sering membicarakannya, tentunya dengan pemahaman masing-masing dan mengambil contoh dilingkungan masing-masing pula.
Yang menarik bagiku adalah adanya pembedaan kesalehan tersebut ada kesalehan ritual dan ada kesalehan sosial sebuah istilah yang baru aku kenal ketika mencicipi bangku kuliah.Dalam perspektif dulu orang yang saleh adalah orang yang ibadah sholat, puasa, zakat syukur sudah berpredikat haji. Terhadap orang seperti ini aku dan mungkin kebanyakan orang sudah mencap sebagai orang yang 'alim dan mesti menghormatinya. Barangkali dengan begitu sudah sempurna sebagai orang Islam dengan menjalankan semua ibadah diatas. Pandangan seperti ini masih sangat lazim dan mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita ( formalis-simbolistik).
Ketika kuliahlah perspektifku mulai berubah, atau dalam bahasa teman-teman aktivis tercerahkan.Bahwa Islam bukanlah segenap ibadah-ibadah mahdhoh saja tapi Islam adalah nilai,Islam meliputi banyak hal,Islam tidak mendikotomi antara urusan dunia dan akherat. Dengan perspektif baru ini aku mulai terbuka, mulai bisa menemukan praktik-praktik di masyarakat yang ternyata baru sebatas kesalehan ritual belaka yang dalam kebanyakan orang itu dianggap sudah cukup ( mungkin mengantarkan mereka ke surga ). Tapi praktik menjaga kebersihan lingkungan, banyaknya pengangguran dan kemiskinan, pendidikan rendah ( baca:kebodohan ) dan persoalan sosial lainnya di lingkungan sekitar tidak terpikirkan sama sekali. Bahkan untuk menjadi wacana sekalipun belum.
Persoalan-persoalan tersebut diatas dianggapnya bukan ibadah, bukan bagian dari ajaran agama dan bukan praktik kesalehan.Memang aku tidak bisa menyalahkan mereka, karena ajaran agama yang mereka terima adalah ajaran warisan, ajaran turun temurun,atau mereka menjadi orang Islam karena orang tua yang melahirkannya juga beragama Islam.
Sebagai contoh di dusunku tempat aku dibesarkan, katakanlah ada Ulama A, Ulama B, dan Ulama C (mau diteruskan sampai Z juga boleh kok mas) apa yang mereka ajarkan, praktikan tidak pernah mengarah ke persoalan sosial diatas. Bahkan kesalehan mereka tidak punya daya pancar sama sekali, jangankan lingkungan diluar rumahnya didalam rumah saja tidak maksimal (masa sih mas). Justru praktik kegiatan sosial yang menjadi garda depan adalah orang-orang yang bisa dikategorikan abangan, orang yang kadang sholat, kadang tidak, kadang puasa kadang tidak, lebih suka mempraktikan ajaran kejawen dari pada ajaran agama dianut. Contohnyapun ada didusunku.Katakanlah Bos A, dia adalah pengusaha muda, sukses, dengan omset ratusan juta per bulan dan keuntungan puluhan juta per bulan. Selain asyik mengembangkan bisnisnya, dia sangat aktif menggagas dan merealisasikan aksi sosial. Contoh yang aku ingat, aksi donor darah (sampai sekarang masih aktif), aksi pengobatan gratis, pengaspalan jalan, pembuatan saluran air, pembangunan poskamling, dan yang paling berkesan bagiku adalah ketika Jogya tertimpa gempa bumi, dia menggalang massa dan bantuan dan berbondong-bondong membawa bantuan untuk korban gempa di Jogya, ada sekitar 10 kendaraan roda empat masing-masing penuh dengan bahan makanan dan pakaian,belum uang tunainya. Kedermawaannya ini sudah diakui oleh lingkungan sekitar dan sampai sekarangpun masih terus berjalan. Jangan tanya perlakuannya pada saudara-saudara kandungnya, semuanya sudah dibelikan sepeda motor dan dibuatkan rumah.Tapi...ada tapi nih..dia belum sholat, dia tidak puasa, zakat sih zakat, belum memikirkan ibadah haji. Ajaran yang dipegangnya cenderung kejawen dan filsafat china.
Dua contoh diatas sebagai contoh simbol kesalehan ritual dan kesalehan sosial.Idealnya kedua-duanya dimiliki oleh semua orang Islam.
Aku jadi ingat salah satu sifat Tuhan ( baca:Allah ) dari sifat duapuluh yang wajib dimiliki Tuhan. Sifat yang kelima"Qiyamuhu bi nafsihi" artinya berdiri sendiri, kemandirian Tuhan mutlak dan tidak dipengaruhi apalagi tergantung oleh hal-hal diluar dirinya.
Penjabarannya misalnya karena Tuhan bersifat mandiri maka setiap orang Islam sadar bahwa Tuhan mustahil atau tidak mungkin mengambil manfaat dari semua bentuk dan hasil peribadatan manusia kepada-Nya. Bahkan Tuhan juga mustahil mengambil manfaat dari keislaman dan peribadatan manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Dengan demikian muncul pertanyaan serius dan harus segera menemukan jawabannya:"Karena Tuhan mustahil, maka siapakah yang seharusnya mendapatkan manfaat dari peribadatan manusia? atau siapa yang akan mendapat manfaat dan kebaikan dari buah keimanan manusia? Tuhan atau manusia dan masyarakatnya?
Ya anda benar, buah dari keimanan manusia seharusnya dipetik atau dipersembahkan kepada sesama manusia secara pribadi,keluarga atau masyarakatnya. Bahkan karena manusia beriman harus menjalin persaudaraan antar makhluk maka keimanannya kepada Tuhan baru punya arti apabila buahnya sudah bisa dinikmati oleh alam seisinya.
Dengan demikian bentuk ibadah yang mengandaikan Tuhan mempunyai kepentingan mengambil manfaat dari ibadah kita sepertinya harus dibenahi dan masuk kategori melecehkan Tuhan karena bertentangan dengan sifat Qiyamuhu bi nafsihi.
Yang terakhir, ber-Islamlah"karena Allah, untuk sesama" dan ingat "Sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat kepada sesama/orang lain" .(Al-Hadits).

0 komentar