Pages

Senin, Agustus 24, 2009

Tujuh Langit, Tujuh Malaikat Penjaga, dan Tujuh Amal Sang Hamba

Dari Ibnu Mubarak dan Khalid bin Ma’dan, mereka berkata kepada Mu’adz bin Jabal, “Mohon ceritakan kepada kami sebuah hadits yang telah Rasulullah ajarkan kepadamu, yang telah dihafal olehmu dan selalu diingat-ingatnya karena sangat kerasnya hadits tersebut dan sangat halus serta dalamnya makna ungkapannya. Hadits manakah yang engkau anggap sebagai hadits terpenting?”

Mu’adz menjawab, “Baiklah, akan aku ceritakan…” Tiba-tiba Mu’adz menangis tersedu-sedu. Lama sekali tangisannya itu, hingga beberapa saat kemudian baru terdiam. Beliau kemudian berkata, “Emh, sungguh aku rindu sekali kepada Rasulullah. Ingin sekali aku bersua kembali dengan beliau…”.

Kemudian Mu’adz melanjutkan:

Suatu hari ketika aku menghadap Rasulullah Saw. yang suci, saat itu beliau tengah menunggangi untanya. Nabi kemudian menyuruhku untuk turut naik bersama beliau di belakangnya. Aku pun menaiki unta tersebut di belakang beliau. Kemudian aku melihat Rasulullah menengadah ke langit dan bersabda, “Segala kesyukuran hanyalah diperuntukkan bagi Allah yang telah menetapkan kepada setiap ciptaan-Nya apa-apa yang Dia kehendaki. Wahai Mu’adz….!

Labbaik, wahai penghulu para rasul….!

Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah, yang apabila engkau menjaganya baik-baik, maka hal itu akan memberikan manfaat bagimu. Namun sebaliknya, apabila engkau mengabaikannya, maka terputuslah hujjahmu di sisi Allah Azza wa Jalla….!

Wahai Mu’adz…Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkati dan Mahatinggi telah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan petala langit dan bumi. Pada setiap langit terdapat satu malaikat penjaga pintunya, dan menjadikan penjaga dari tiap pintu tersebut satu malaikat yang kadarnya disesuaikan dengan keagungan dari tiap tingkatan langitnya.

Suatu hari naiklah malaikat Hafadzah dengan amalan seorang hamba yang amalan tersebut memancarkan cahaya dan bersinar bagaikan matahari. Hingga sampailah amalan tersebut ke langit dunia (as-samaa’I d-dunya) yaitu sampai ke dalam jiwanya. Malaikat Hafadzah kemudian memperbanyak amal tersebut dan
mensucikannya.

Namun tatkala sampai pada pintu langit pertama, tiba-tiba malaikat penjaga pintu tersebut berkata, “Tamparlah wajah pemilik amal ini dengan amalannya tersebut!! Aku adalah pemilik ghibah… Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk mencegah setiap hamba yang telah berbuat ghibah di antara manusia -membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan orang lain yang apabila orang itu mengetahuinya, dia tidak suka mendengarnya- untuk dapat melewati pintu langit pertama ini….!!”

Kemudian keesokan harinya malaikat Hafadzah naik ke langit beserta amal shalih seorang hamba lainnya. Amal tersebut bercahaya yang cahayanya terus diperbanyak oleh Hafadzah dan disucikannya, hingga akhirnya dapat menembus ke langit kedua. Namun malaikat penjaga pintu langit kedua tiba-tiba berkata, “Berhenti kalian…! Tamparlah wajah pemilik amal tersebut dengan amalannya itu! Sesungguhnya dia beramal namun dibalik amalannya itu dia menginginkan penampilan duniawi belaka (’aradla d-dunya).Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalan si hamba yang berbuat itu melewati langit dua ini menuju langit berikutnya!” Mendengar itu semua, para malaikat pun melaknati si hamba tersebut hingga petang harinya.

Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan sang hamba yang nampak indah, yang di dalamnya terdapat shadaqah, shaum-shaumnya serta perbuatan baiknya yang melimpah. Malaikat Hafadzah pun memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya hingga akhirnya dapat menembus langit pertama dan kedua. Namun ketika sampai di pintu langit ketiga, tiba-tiba malaikat penjaga pintu langit tersebut berkata, “Berhentilah kalian…! Tamparkanlah wajah pemilik amalan tersebut dengan amalan-amalannya itu! Aku adalah penjaga al-Kibr (sifat takabur). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku, karena selama ini dia selalu bertakabur di hadapan manusia ketika berkumpul dalam setiap majelis pertemuan mereka….”

Malaikat Hafadzah lainnya naik ke langit demi langit dengan membawa amalan seorang hamba yang tampak berkilauan bagaikan kerlip bintang gemintang dan planet. Suaranya tampak bergema dan tasbihnya bergaung disebabkan oleh ibadah shaum, shalat, haji dan umrah, hingga tampak menembus tiga langit
pertama dan sampai ke pintu langit keempat. Namun malaikat penjaga pintu tersebut berkata, “Berhentilah kalian…! Dan tamparkan dengan amalan-amalan tersebut ke wajah pemiliknya..! Aku adalah malaikat penjaga sifat ‘ujub (takjub akan keadaan jiwanya sendiri). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku agar ridak membiarkan amalannya melewatiku hingga menembus langit sesudahku. Dia selalu memasukkan unsur ‘ujub di dalam jiwanya ketika melakukan suatu perbuatan…!”

Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan seorang hamba yang diiring bagaikan iringan pengantin wanita menuju suaminya. Hingga sampailah amalan tersebut menembus langit kelima dengan amalannya yang baik berupa jihad, haji dan umrah. Amalan tersebut memiliki cahaya bagaikan sinar matahari.
Namun sesampainya di pintu langit kelima tersebut, berkatalah sang malaikat penjaga pintu, “Saya adalah pemilik sifat hasad (dengki). Dia telah berbuat dengki kepada manusia ketika mereka diberi karunia oleh Allah. Dia marah terhadap apa-apa yang telah Allah ridlai dalam ketetapan-Nya. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amal tersebut melewatiku menunju langit berikutnya…!”

Malaikat Hafadzah lainnya naik dengan amalan seorang hamba berupa wudlu yang sempurna, shalat yang banyak, shaum-shaumnya, haji dan umrah, hingga sampailah ke langit yang keenam. Namun malaikat penjaga pintu langit keenam berkata, ‘Saya adalah pemilik ar-rahmat (kasih sayang). Tamparkanlah amalan
si hamba tersebut ke wajah pemilikinya. Dia tidak memilki sifat rahmaniah sama sekali di hadapan manusia. Dia malah merasa senang ketika melihat musibah menimpa hamba lainnya. Rabb Pemeliharaku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku menuju langit berikutnya…!’

Naiklah malaikat Hafadzah lainnya bersama amalan seorang hamba berupa nafkah yang berlimpah, shaum, shalat, jihad dan sifat wara’ (berhati-hati dalam bermal). Amalan tersebut bergemuruh bagaikan guntur dan bersinar bagaikan bagaikan kilatan petir. Namun ketika sampai pada langit yang ketujuh, berhentilah amalan tersebut di hadapan malaikat penjaga pintunya. Malaikat itu berkata, ‘Saya adalah pemilik sebutan (adz-dzikru) atau sum’ah (mencintai kemasyhuran) di antara manusia. Sesungguhnya pemilik amal ini
berbuat sesuatu karena menginginkan sebutan kebaikan amal perbuatannya di dalam setiap pertemuan. Ingin disanjung di antara kawan-kawannya dan mendapatkan kehormatan di antara para pembesar. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalannya menembus melewati pintu langit ini menuju langit sesudahnya. Dan setiap amal yang tidak diperuntukkan bagi Allah ta’ala secara ikhlas, maka dia telah berbuat riya’, dan Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalan seseorang yang diiringi dengan riya’ tersebut….!’

Dan malaikat Hafadzah lainnya naik beserta amalan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum demi shaum, haji, umrah, akhlak yang berbuahkan hasanah, berdiam diri, berdzikir kepada Allah Ta’ala, maka seluruh malaikat di tujuh langit tersebut beriringan menyertainya hingga terputuslah seluruh hijab dalam menuju Allah Subhanahu. Mereka berhenti di hadapan ar-Rabb yang Keagungan-Nya (sifat Jalal-Nya) bertajalli. Dan para malaikat tersebut menyaksikan amal sang hamba itu merupakan amal shalih yang diikhlaskannya hanya bagi Allah Ta’ala.

Namun tanpa disangka Allah berfirman, ‘Kalian adalah malaikat Hafadzah yang menjaga amal-amal hamba-Ku, dan Aku adalah Sang Pengawas, yang memiliki kemampuan dalam mengamati apa-apa yang ada di dalam jiwanya. Sesungguhnya dengan amalannya itu, sebenarnya dia tidak menginginkan Aku. Dia menginginkan selain Aku…! Dia tidak mengikhlaskan amalannya bagi-Ku. Dan Aku Maha Mengetahui terhadap apa yang dia inginkan dari amalannya tersebut. Laknatku bagi dia yang telah menipu makhluk lainnya dan kalian semua, namun Aku sama sekali tidak tertipu olehnya. Dan Aku adalah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib, Yang memunculkan apa-apa yang tersimpan di dalam kalbu-kalbu. Tidak ada satu pun di hadapan-Ku yang tersembunyi, dan tidak ada yang samar di hadapan-Ku terhadap segala yang tersamar….. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang belum terjadi. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah berlalu sama dengan pengetahuan-Ku terhadap yang akan datang. Dan pengetahuan-Ku terhadap segala sesuatu yang awal sebagaimana pengetahuan-Ku terhadap segala yang akhir. Aku lebih mengetahui sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Bagaimana mungkin hamba-Ku menipu-Ku dengan ilmunya. Sesungguhnya dia hanyalah menipu para makhluk yang tidak memiliki pengetahuan, dan Aku Maha Mengetahui segala yang ghaib. Baginya laknat-Ku….!!

Mendengar itu semua maka berkatalah para malaikat penjaga tujuh langit beserta tiga ribu pengiringnya, ‘Wahai Rabb Pemelihara kami, baginya laknat-Mu dan laknat kami. Dan berkatalah seluruh petala langit, ‘Laknat Allah baginya dan laknat mereka yang melaknat buat sang hamba itu..!

Mendengar penuturan Rasulullah Saw. sedemikian rupa, tiba-tiba menangislah Mu’adz Rahimahullah, dengan isak tangisnya yang cukup keras…Lama baru terdiam kemudian dia berkata dengan lirihnya, “Wahai Rasulullah……Bagaimana bisa aku selamat dari apa-apa yang telah engkau ceritakan tadi…??”

Rasulullah bersabda, “Oleh karena itu wahai Mu’adz…..Ikutilah Nabimu di dalam sebuah keyakinan…”.

Dengan suara yang bergetar Mu’adz berkata, “Engkau adalah Rasul Allah, dan aku hanyalah seorang Mu’adz bin Jabal….Bagaimana aku bisa selamat dan lolos dari itu semua…??”

Nabi yang suci bersabda, “Baiklah wahai Mu’adz, apabila engkau merasa kurang sempurna dalam melakukan semua amalanmu itu, maka cegahlah lidahmu dari ucapan ghibah dan fitnah terhadap sesama manusia, khususnya terhadap saudara-saudaramu yang sama-sama memegang Alquran. Apabila engkau hendak berbuat ghibah atau memfitnah orang lain, haruslah ingat kepada pertanggungjawaban jiwamu sendiri, sebagaimana engkau telah mengetahui bahwa dalam jiwamu pun penuh dengan aib-aib. Janganlah engkau mensucikan jiwamu dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Jangan angkat derajat jiwamu dengan cara menekan orang lain. Janganlah tenggelam di dalam memasuki urusan dunia sehingga hal itu dapat melupakan urusan akhiratmu. Dan janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang, padahal di sebelahmu terdapat orang lain yang tidak diikutsertakan. Jangan merasa dirimu agung dan terhormat di hadapan manusia, karena hal itu akan membuat habis terputus nilai kebaikan-kebaikanmu di dunia dan akhirat. Janganlah berbuat keji di dalam majelis pertemuanmu sehingga akibatnya mereka akan menjauhimu karena buruknya akhlakmu. Janganlah engkau ungkit-ungkit kebaikanmu di hadapan orang lain. Janganlah engkau robek orang-orang dengan lidahmu yang akibatnya engkau pun akan dirobek-robek oleh anjing-anjing Jahannam, sebagaimana firman-Nya Ta’ala, “Demi yang merobek-robek dengan merobek yang sebenar-benarnya…” (QS An-Naaziyat [79]: 2) Di neraka itu, daging akan dirobek hingga mencapat tulang……..

Mendengar penuturan Nabi sedemikian itu, Mu’adz kembali bertanya dengan suaranya yang semakin lirih, “Wahai Rasulullah, Siapa sebenarnya yang akan mampu melakukan itu semua….??”

“Wahai Mu’adz…! Sebenarnya apa-apa yang telah aku paparkan tadi dengan segala penjelasannya serta cara-cara menghindari bahayanya itu semua akan sangat mudah bagi dia yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala…. Oleh karena itu cukuplah bagimu mencintai sesama manusia, sebagaimana engkau mencintai jiwamu sendiri, dan engkau membenci mereka sebagaimana jiwamu membencinya. Dengan itu semua niscaya engkau akan mampu dan selamat dalam menempuhnya…..!!”

Khalid bin Ma’dan kemudian berkata bahwa Mu’adz bin Jabal sangat sering membaca hadits tersebut sebagaimana seringnya beliau membaca Alquran, dan sering mempelajarinya serta menjaganya sebagaimana beliau mempelajari dan menjaga Alquran di dalam majelis pertemuannya.

Al-Ghazali Rahimahullah kemudian berkata, “Setelah kalian mendengar hadits yang sedemikian luhur beritanya, sedemikian besar bahayanya, atsarnya yang sungguh menggetarkan, serasa akan terbang bila hati mendengarnya serta meresahkan akal dan menyempitkan dada yang kini penuh dengan huru-hara yang mencekam. Kalian harus berlindung kepada Rabb-mu, Pemelihara Seru Sekalian Alam. Berdiam diri di ujung sebuah pintu taubat, mudah-mudahan kalbumu akan dibuka oleh Allah dengan lemah lembut, merendahkan diri dan berdoa, menjerit dan menangis semalaman. Juga di siang hari bersama orang-orang yang merendahkan diri, yang menjerit dan selalu berdoa kepada Allah Ta’ala. Sebab itu semua adalah sebuah persoalan bersar dalam hidupmu yang kalian tidak akan selamat darinya melainkan disebabkan atas pertolongan dan rahmat Allah Ta’ala semata.

Dan tidak akan bisa selamat dari tenggelamnya di lautan ini kecuali dengan hadirnya hidayah, taufiq serta inayah-Nya semata. Bangunlah kalian dari lengahnya orang-orang yang lengah. Urusan ini harus benar-benar diperhatikan oleh kalian. Lawanlah hawa nafsumu dalam tanjakan yang menakutkan ini. Mudah-mudahan kalian tidak akan celaka bersama orang-orang yang celaka. Dan mohonlah pertolongan hanya kepada Allah Ta’ala, kapan saja dan dalam kadaan bagaimanapun. Dialah yang Maha Menolong dengan sebaik-baiknya…

Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah…

Sumber tulisan diambil dari sini.

Rabu, Agustus 19, 2009

ISLAMISASI DAN MASYARAKAT PASAR: Sufisme dan Sejarah Sosial Kota Sokaraja

Jumat, 15 September 2006


Oleh: Luthfi Makhasin
Anggota Forum Lafadl, Faculty of Asian Studies (Southeast Asian Studies)
The Australian National University
Canberra-ACT, Australia

Menjelaskan sejarah sosial sebuah kota kecil dengan segala dinamika sosialnya selama rentang waktu kurang lebih 175 tahun bukanlah pekerjaan yang ringan, jika bukan malah sebuah kemustahilan. Referensi dan data tentu saja adalah persoalan berat yang harus dipecahkan untuk bisa memberikan analisa komprehensif tentangnya. Di sisi lain, pilihan metode etnografis juga membawa persoalan sendiri karena keasyikan memberikan “thick description” seringkali melenakan keperluan untuk berjaga dan memberikan analisis kritis terhadap objek pengamatan.

Studi ini adalah sebuah ikhtiar untuk memberikan penjelasan tentang kaitan erat antara institusi dan pandangan keagamaan dalam turut membentuk perubahan sosial ekonomi masyarakat. Dengan mengambil kasus gerakan tarekat, studi ini ingin membangun argumen bahwa agama bukan hanya merupakan ekspresi kesolehan personal tapi juga mencerminkan prestis cultural, status sosial dan pembedaan berbasis kelas dari para penganutnya. Disamping itu, agama membentuk kesadaran, kontruksi kognitif, dan juga sumber referensi tindakan individual dan kolektif dalam berhubungan dengan dunia material dan sosial.



Geertz dan Tesis Modjokuto Revisited: Sebuah Penafsiran (yang lain)

Upaya untuk memberikan penjelasan tentang kaitan erat antara spiritualitas dengan perkembangan dunia material adalah satu bidang yang bisa dikatakan sudah usang, tapi dengan relevansi yang sebenarnya bisa terus-menerus terbarui. Komodifikasi sosial yang dibawa oleh pasar ternyata tidak mengurangi peran agama dalam masyarakat, jika bukan malah memperkuatnya.

Karya monumental Weber dalam The Protestant Ethic berangkat dari tesis tentang peran ide dalam turut membentuk perubahan sosial dan dinamika material. Karya lanjutnya dalam sosiologi agama memperkuat tesis dasarnya bahwa hanya reformasi protestanlah yang mampu menciptakan asketisme duniawi sebagai conditio sin qua non bagi berkembangnya rasionalitas instrumental ekonomi pasar kapitalistik. Berbeda dengan Protestanisme, karya perbandingannya tentang Islam dipenuhi oleh sikap skeptiknya tentang kemampuan Islam untuk menumbuhkan rasionalitas instrumental dan orientasi keduniawian bagi para pengikutnya. Menurutnya, Islam yang dipenuhi ajaran sufistik dan orientasi petualangan para warrior penyebar Islam mencegahnya untuk menumbuhkan asketisme duniawi sebagaimana yang terjadi di Kristen.

Meskipun Geertz meminjam analisis Weber untuk menjelaskan perubahan sosial di Modjokuto, dia merevisi tesis Weber sekaligus memperkuatnya. Di satu sisi, Geertz tidak sepakat dengan Weber dan segala bias stereotyping yang terkandung dalam analisisnya tentang Islam. Di sisi lain, dia justru makin meneguhkan analisis Weber tentang peran rasionalitas instrumental sebagai syarat tumbuhnya semangat kewirausahaan dan perubahan sosial-ekonomi. Seperti halnya kasus gerakan Protestanisme yang diamati Weber, Geertz memberi apresiasi besar terhadap pengaruh reformasi Islam yang sedang tumbuh subur di Indonesia masa 1950-an dalam mendorong tumbuhnya sikap rasional di kalangan pengusaha Muslim perkotaan. Dalam analisisnya tentang perkembangan masyarakat urban di Modjokuto, Geertz mengamati proses transformasi sosial yang ditimbulkan oleh usaha sistematis kalangan pengusaha Muslim perkotaan untuk menciptakan bisnis yang efisien dan akumulasi modal. Terlepas dari empati personalnya terhadap proses perubahan itu, perangkat teori modernisasi yang dipakainya justru cenderung melemahkan dan mensimplifikasi proses yang sedang terjadi. Inilah yang membuat analisis orisinalnya tentang Jawa menyimpan paradoks.

Sementara dia mengakui kemelekatan ekonomi pasar dalam sistem sosio-kultural yang lebih luas, Geertz juga percaya bahwa ide tentang pasar, sistem pertukaran, dan profit-making adalah sesuatu yang pada dasarnya asing bagi orang Jawa. Sementara dia menginsyafi bahwa perdagangan sedang tumbuh berkembang menjadi bagian integral dalam struktur ekonomi pribumi, Geertz juga percaya bahwa pertanian adalah mode produksi utama orang Jawa. Motif ideologis dari pengambilan kesimpulan semacam itu adalah di luar skup tulisan ini. Yang ingin penulis kemukakan adalah bahwa penjelasan bagi paradoks ini sebenarnya bisa dilacak dari kerangka argumennya yang lain tentang peran birokrasi dalam menciptakan ekonomi pasar yang rasionalistik.

Dalam kerangka Weberian, institusi legal-rasional adalah determinan lain yang sangat penting bagi munculnya ekonomi kapitalistik. Institusi legal-rasional ini penting untuk menopang institusi pasar supaya berfungsi dengan baik. Dia berfungsi untuk menjamin terlaksananya perjanjian kontrak jual-beli, melindungi hak milik, menyediakan fasilitas publik, dan memberi hukuman bagi mereka yang melanggar aturan main ekonomi pasar. Lebih dari itu, institusi legal-rasional adalah produk agregat dari rasionalitas individual. Kerangka ini mengandaikan sebuah proses perubahan yang linier dari rasionalitas individu ke institusi legal-rasional. Rasionalitas individu membentuk rasionalitas kolektif dan rasionalitas kolektif tercermin dalam rasionalitas institusi politik dan birokrasi (baca: negara) untuk menelurkan kebijakan-kebijakan yang mendukung berfungsinya institusi pasar. Linieritas ini juga terlihat dari ramalannya tentang Indonesia masa depan. Baginya, rasionalitas individual dan institusional adalah prasyarat bagi apa yang dinamakan modernisasi.

Ironisnya, temuan etnografis Geertz justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Di satu sisi, gerakan reformasi Islam memang punya akar yang sangat kuat di kalangan usahawan pribumi perkotaan, sementara di sisi lain, birokrasi justru berkutat pada friksi politik berbasis aliran. Ini membuat birokrasi gagal mengemban fungsi idealnya sebagai penopang institusi pasar dan oleh karena itu juga bagi terlembaganya sistem ekonomi kapitalistik di Indonesia. Dengan kata lain, elaborasi Geertz tentang subkultur priyayi berangkat dari satu kesimpulan bahwa lembaga birokrasi di Indonesia lebih berorientasi pada pemapanan status daripada menopang institusi pasar untuk bekerja optimal.

Terlepas dari berbagai kelemahannya, Geertz dkk. membuka salah satu tabir gelap yang menutupi Indonesia dan selama beberapa dekade menjadi lahan penyelidikan tak berkesudahan ahli-ahli filologi dan sosiolog Belanda. Untuk Geertz secara pribadi, penyelidikan etnografisnya di Modjokuto menjadi batu loncatan penting bagi pengukuhannya sebagai salah satu pendiri mazhab tersendiri dalam studi antropologi. Dalam kata pengantarnya untuk Agricultural Involution, ekonom terkemuka Benjamin Higgins mengemukakan bahwa temuan Geertz dan kawan-kawan membantu mempermudah kerja para ekonom yang konsen dengan persoalan pembangunan di Indonesia . Dalam konteks yang lebih luas, keseluruhan karya Modjokuto menjadi landasan penting bagi preskripsi pembangunan Indonesia masa Orba yang menekankan pada peran dominan modernizing elites dalam perubahan sosial.



Sekilas tentang Sokaraja

Sokaraja adalah sebuah kota kecil, sekitar 9 kilometer arah tenggara kota Purwokerto, Banyumas. Orang mengenal kota ini sebagai pusat jajanan khas Banyumasan, kripik dan getuk goreng. Sejak pertengahan 80-an, kota ini memang sudah kadung lekat dengan julukan sebagai kota kripik dan kota getuk. Nyatanya, julukan ini memang tidak berlebihan karena sepanjang jalan protol 1,5 kilometer yang membelah kota ini ke arah barat dan timur, berjejer puluhan kios dengan papan nama mencolok yang menawarkan merek dagangnya masing-masing. Setiap malam akhir pekan, akan banyak dijumpai puluhan bis antar kota dan mobil pribadi yang berjejer di sepanjang pinggir jalan, menunggu penumpangnya yang sedang berbelanja buah tangan jajanan khas ini.

Sokaraja dibelah oleh aliran sungai (Kali Pelus) tepat di tengah, yang memisahkan kota ini menjadi wilayah utara (Sokara lor kali) dan selatan (Sokaraja kidul kali). Desa Sokaraja Lor dan Sokaraja Wetan di sebelah utara Kali Pelus lebih bercorak pertanian daripada desa Sokaraja Kidul, Tengah dan Kulon di selatan yang lebih bercorak kota . Pusat industri dan perdagangannya memusat di sepanjang empat ruas protokol jalan yang menghubungkan Sokaraja dengan kota-kota lainnya dan wilayah pemukimannya berhimpitan tepat di belalakang jejeran toko/kios. Sementara, lahan persawahan membentuk lingkaran terluar yang mengelilingi kota Sokaraja di delapan penjuru mata angin.

Sokaraja adalah pusat pemukiman urban dan komersil pertama yang berkembang di wilayah Banyumas. Kota ini adalah distrik pertama yang mendapat suntikan modal Belanda pada waktu awal diberlakukannya tanam paksa (1840-1870). Konon cerita, dipilihnya Sokaraja banyak dipengaruhi oleh kolaborasi penguasa lokal Sokaraja saat itu (Tumenggung Jayadireja) dengan kumpeni Belanda pada saat Perang Diponegoro (1825-1830). Selagi daerah lain belum lagi beranjak dari isolasi geografis dan pertanian subsisten, Sokaraja sudah mendapatkan limpahan pembangunan fisik seperti jalan kereta api, jembatan, pasar, saluran irigasi, dan jalan raya. Singkatnya, gula menjadi mode ekonomi dominan di wilayah ini sampai dengan kebangkrutannya setelah depresi dunia akhir tahun 1920-an. Bangunan tua lapuk Pabrik Gula Kalibagor (500 meter selatan kota) yang berdiri sejak 1839 adalah saksi bisu kejayaan gula dalam ekonomi local Sokaraja selama rentang satu abad.

Bagi orang luar, Sokaraja boleh jadi memang kadung lekat dengan getuk dan kripik. Tapi bagi penduduk asli, Sokaraja punya lebih banyak warna-warni sejarah dengan julukan yang berbeda-beda untuk tiap masa. Berbagai julukan itu menjadi pertanda aktivitas ekonomi yang berubah. Antara 1930-1960, Sokaraja dikenal sebagai kota batik. Dari awal Orba sampai akhir 80-an, kota ini dikenal dengan julukan kota lukisan dan kota keramik. Getuk goreng dan kripik hanya menandai perkembangan terbaru kegiatan ekonomi penduduknya. Entah julukan apa lagi yang akan muncul setelah ini.

Kalaupun ada yang tidak berubah dari Sokaraja, itu karena dari dulu sampai sekarang orang mengenal kota ini sebagai kota santri. Kota kecil berpenduduk lebih kurang 22 ribu seluas kurang lebih 831 hektar ini memiliki 7 buah pesantren, 3 di Sokaraja Lor, 3 di Sokaraja Kulon, dan 1 di Sokaraja Tengah. Pesantren tertua di kota ini, Pesantren Assuniyah Kebonkapol di Sokaraja Lor didirikan oleh Syekh Imam Rozi pada tahun 1830-an. Ke arah timur, tidak jauh dari Pesantren Assuniyah, ada pesantren besar khusus untuk pengikut tarekat, namanya Pondok Pesulukan Naqsabandi. Pesantren ini juga dinamakan Pondok Peguron. Pada bulan Rajab, Maulud dan Ramadhan, Pondok Peguron akan dibanjiri ribuan pengikut tarekat Naqsabandi dari seluruh Indonesia yang mengikuti ritual suluk akbar.

Predikat sebagai kota santri ada hubungannya dengan sejarah gerakan Islam dan ketokohan beberapa kyainya. Sejak awal 1930-an, Sokaraja menjadi tempat kedudukan konsul tetap NU yang membawahi wilayah kerja Banyumas, Jogja, dan Kedu.[1] Melalui NU-lah, Sokaraja berkembang menjadi pusat perlawanan gerakan kyai menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Menurut beberapa sumber lokal, gerakan perlawanan kyai ini merupakan bagian dari gerakan Mabadi Khoiro Ummah yang sudah dirintis oleh NU sejak awal 1930-an. Gerakan ini mencakup banyak kegiatan seperti pengajian rutin, pengumpulan dana perjuangan, pendirian madrasah, sampai dengan penggemblengan fisik untuk para pemuda.[2]

Pada masa Jepang, gerakan perlawanan bawah tanah (non-cooperatie) ini berkembang menjadi gerakan cooperatie dengan penguasa pendudukan. Kyai Raden Mukhtar, konsul NU Banyumas misalnya, menjadi satu-satunya perwakilan NU di Syumuka (lembaga bentukan Jepang yang menyerupai lembaga kepenguluan masa Belanda di tingkat kabupaten) Dalam Guruku Orang-Orang Pesantren, Saifuddin Zuhri yang pernah menjadi tangan kanan Kyai Wahid Hasyim, menyinggung bahwa kerjasama ini merupakan bagian dari taktik baru yang ditempuh NU pasca penahanan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari oleh Jepang pada tahun 1943. Pada hemat penulis, perubahan strategi dari non-kerja sama ke kerjasama ini merupakan upaya NU untuk mengikis dominasi kalangan modernis dalam lingkaran birokrasi kolonial dan sekaligus menciptakan basis kekuasaan untuk dirinya sendiri dalam struktur baru pasca kolonial.

Predikat sebagai kota santri untuk Sokaraja juga berasal dari ketokohan kyai-kyainya. Sampai saat ini, hampir semua kyai di Banyumas melacak genealogi pengetahuannya, langsung maupun tidak langsung, dari beberapa kyai sepuh di Sokaraja. Sokaraja menjadi tempat tinggal beberapa kyai generasi pertama di Banyumas yang mendapatkan pendidikannya dari pesantren-pesantren tua ternama seperti Termas, Bangkalan dan Lasem dan juga dari Arabia . Di samping itu, Sokaraja melahirkan kyai dari yang politisi, ahli fiqh, dan utamanya tarekat. Dari semuanya, barangkali tidak ada yang menyamai reputasi Kyai Saifuddin Zuhri yang pernah menjadi menteri agama era Soekarno akhir.

Tarekat dan Tradisi Islam Lokal

Tarekat adalah tradisi Islam lokal yang mengakar kuat di Banyumas secara umum dan khususnya Sokaraja. Barangkali ini ada kaitannya dengan sejarah awal perkembangan Islam di wilayah ini pada akhir abad ke-15. Sebelum kedatangan Islam, Banyumas adalah wilayah semi independen di bawah pengaruh Kerajaan Hindu Galuh Pakuan/Pajajaran. Empat abad setelah awal kedatangannya, Islam belumlah memiliki akar yang kokoh dalam tradisi keagamaan lokal. Beberapa sumber lisan (babad) bahkan menceritakan perlawanan yang dilakukan beberapa penguasa lokal terhadap proses Islamisasi di wilayah ini. Tarekat menjadi instrumen Islamisasi yang efektif karena kemampuannya mengakomodasi tradisi keagamaan lokal.

Pada masa kekuasaan Tumenggung Jayadireja (1830-1853), Syattariyah adalah tarekat yang paling tersebar luas di Sokaraja. Diperkirakan, tarekat ini bersumber dari murid-murid Syekh Abdul Mukhyi, Garut, seorang mursyid tarekat Syattariyah yang mendapatkan ijazah irsyad-nya dari Syekh Abdurrauf Singkel, Aceh. Di Banyumas, Syattariyah menciptakan varian baru yang menggabungkan beberapa ajaran tarekat lain, seperti Rifaiyah dan Naqsabandi-Qodiriya h. Tarekat ini dikenal dengan nama tarekat Akmaliyah/Kamaliyah .

Ajaran tarekat Akmaliyah pernah menjadi objek disertasi Drewes pada tahun 1925 di Leiden . Menurut Drewes, Akmaliyah disebarkan oleh tiga guru tarekat; Kyai Hasan Maulani (Lengkong, Cirebon ), Kyai Nurhakim (Pasir Wetan, Purwokerto), dan Malangyuda (Rajawana, Purbalingga) . Ketiganya merupakan guru-murid, dengan Kyai Hasan Maulani sebagai pendiri dan guru utamanya. Menariknya, Kyai Hasan Maulani sendiri mendapat bimbingan pertama kali untuk masuk tarekat dari Syekh Abdussomad, seorang guru Naqsabandi-Qodiriya h di desa Jombor, sekitar 25 km barat Purwokerto. Sehingga tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa Akmaliyah adalah tarekat lokal asli Banyumas. Mendasarkan pada studi Drewes, Bruinessen dan Steenbrink menyatakan bahwa Akmaliyah merupakan tarekat yang kental dengan ajaran wahdatul wujud dan sinkretisme Jawa.

Banyaknya pengikut tarekat Akmaliyah menakutkan penguasa saat itu. Hal ini mendorong Belanda membuang Kyai Hasan Maulani ke Menado pada tahun 1846.[3] Sepeninggalnya, ajarannya dilanjutkan oleh Kyai Nurhakim dan Malangyuda. Pada masa kepemimpinan Kyai Nurhakim dan Malangyuda, Akmaliyah menginspirasi beberapa pemberontakan rakyat di wilayah ini. Ini mendorong Belanda mengawasi ketat gerak-gerik kedua orang ini.

Seorang sejarawan lokal yang pernah menulis tentang ini, Tanto Sukardi, menghubungkan gerakan tarekat Akmaliyah dengan meluasnya ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi sosial ekonomi masa tanam paksa. Tarekat bahkan memakan korbannya dari kalangan elit penguasa ketika Belanda mengasingkan bekas sekutunya, Tumenggug Jayadireja (bekas penguasa Sokaraja dan Bupati Purwokerto, 1853-1860) ke Padang pada tahun 1860. Bupati Jayadireja dituduh berkomplot untuk menggulingkan kekuasaan Belanda karena asosiasinya dengan gerakan tarekat Kyai Nurhakim.

Surutnya Syattariyah dan Akmaliyah di Banyumas secara umum dan Sokaraja secara khusus tidak mematikan gerakan tarekat di wilayah ini. Sejak awal 1880-an, Kyai Muhammad Ilyas muncul sebagai mursyid terkemuka. Dia merupakan salah satu khalifah Sulaiman Zuhdi (guru tarekat Naqsabandi-Kholidiy ah asal Turki di Mekkah) untuk wilayah Jawa.[4] Dia mulai menyebarkan tarekat ini dari langgar kecilnya di dukuh Kedungparuk, Mersi (sekitar 5 km timur Purwokerto). Mengulang nasib guru-guru tarekat sebelumnya, sambutan luas masyarakat terhadap ajarannya kembali mengundang kecurigaan Belanda terhadap Kyai Muhammad Ilyas. Dengan tuduhan makar, Kyai Muhammad Ilyas kemudian ditahan Belanda pada tahun 1888.[5]

Setelah dibebaskan dari tahanan, Kyai Muhammad Ilyas meneruskan ajaran tarekatnya di Sokaraja Lor. Pemilihan Sokaraja Lor erat kaitannya dengan pengawasan ketat Belanda yang terus berlanjut atas tokoh ini. Secara geografis, Sokaraja dipilih karena mempunyai jalur transportasi yang bagus dan hanya berjarak kurang dari 10 km dari kota Banyumas, ibukota karesidenan Banyumas saat itu. Alasan lainnya lebih bersifat pribadi. Kyai Muhammad Ilyas hanya diijinkan mengajar tarekat dari masjid wakaf Penghulu landraat Abubakar, seorang pejabat agama kolonial yang belakangan menjadi mertuanya. Pada waktu meninggalnya tahun 1914, Kyai Muhammad Ilyas meninggalkan pada keturunannya sebuah jaringan tarekat yang tersebar luas di wilayah Banyumas dan sekitarnya.[6] Kyai Abdussalam, mursyid Naqsabandi-Kholidiy ah saat ini, adalah cicit Kyai Muhammad Ilyas. Di bawah Kyai Abdussalam, jaringan tarekat ini menyebar sampai ke Aceh, Riau, Jambi, Lampung, Jabar, Kalsel dan Kaltim, dan Kalteng dengan jamaah sekitar 35.000 orang.

Sejak akhir 1920-an, dominasi Naqsabandi-Kholidiyah di Sokaraja mendapat saingan dari tarekat Syadziliyah. Tarekat ini disebarkan pertama kali oleh Kyai Muhammad Asfiya, Sokaraja Tengah, cucu dari Syekh Imam Rozi, perintis dakwah Islam di Sokaraja dan pendiri Pesantren Assuniyah, Kebonkapol Sokaraja Lor. Saat ini, terdapat lima orang mursyid di kota Sokaraja; yaitu Kyai Muhammad Hidayat, Habib Umar Bafakih, Kyai Abdussalam, Habib Khusen bin Salim dan Kyai Muhammad Imam Munchasir. Dua yang pertama adalah mursyid Naqsabandi-Qodiriya h sedang dua yang terakhir adalah mursyid Syadziliyah. Syadziliyah adalah jaringan tarekat tunggal terbesar di wilayah ini dengan jumlah mursyid sebanyak kurang lebih 24 orang.


Tarekat dan Ekonomi Batik

Sejak kolapsnya industri gula pada akhir 1920-an, batik telah menggantikannya menjadi penggerak utama ekonomi lokal Sokaraja. Ada dua pandangan tentang asal-usul batik di Banyumas. Satu pandangan menyatakan bahwa batik berkembang sejak lama di daerah-daerah perdikan di Banyumas. Pandangan yang lain menyatakan bahwa keahlian membatik ini dibawa oleh para pengikut Diponegoro yang melarikan diri ke daerah Banyumas setelah kekalahannya dalam perang Jawa pada tahun 1830. Terlepas dari pandangan mana yang benar, batik menandai kebangkitan usahawan Muslim pribumi. Pada masa keemasannya antara pertengahan 1950-an dan 1960-an, Sokaraja menyumbang sebagian besar produksi Batik Banyumas.

Kejayaan perniagaan saudagar batik Sokaraja disumbang oleh kebijakan negara untuk mengembangkan pengusaha pribumi. Di bawah kebijakan ini, koperasi batik Banyumas (Perbain) yang masuk sebagai salah satu anggota pendiri GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia ) mendapatkan hak monopoli pengadaan mori dan alat-alat pembantikan. Mengikuti kolega-koleganya di GKBI, Perbain mendulang keuntungan besar besar dari monopoli ini. Pada tahun 1956, jumlah pengusaha batik anggota Perbain berjumlah 108. Pada masa keemasannya, Perbain bukan saja berkutat pada usaha pembuatan dan penjualan batik tapi juga bergerak di bidang sosial. Mereka mengelola sekolah, pusat kesehatan masyarakat dan pabrik tekstil.

Dinamika gerakan tarekat di Sokaraja berkaitan erat dengan perkembangan pengusaha batik pribumi. Jaringan bisnis para pengusaha batik ini biasanya paralel dengan jaringan keagamaan dan sosial gerakan tarekat. Di Sokaraja bahkan ada kecenderungan menarik karena para guru tarekat biasanya adalah juga para pengusaha batik yang sukses. Kyai Rifai misalnya, adalah contoh pengusaha batik kaya yang juga seorang guru tarekat dengan jaringan yang sangat luas. Dia adalah guru tarekat Naqsabandi-Kholidiy ah yang didirikan oleh kakeknya, Kyai Muhammad Ilyas. Dia menggantikan ayahnya (Kyai Affandi) sebagai guru tarekat sejak 1928 sampai meninggalnya pada tahun 1968. Pada masa hidupnya, Kyai Rifai konon adalah salah seorang paling kaya di Sokaraja. Jaringan tarekat dan bisnis Kyai Rifai menyebar dari Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Purbalingga, Banjarnegara, Pekalongan, Pemalang, Temanggung, dan Magelang.

Seperti halnya Naqsabandi-Kholidiy ah, Syadziliyah, tarekat terbesar kedua di Sokaraja juga memiliki jaringan sosial yang paralel dengan jaringan perniagaan saudagar batik. Genealogi tarekat Syadziliyah Sokaraja dan Banyumas berhubungan dengan para saudagar batik di Laweyan, Solo. Bukan satu kebetulan bahwa guru-guru Syadziliyah dengan jaringan terbesar di Banyumas mendapat ijazahnya dari guru tarekat sekaligus saudagar batik dari Solo, seperti Kyai Idris, Kyai Siroj dan Kyai Ma’ruf.

Pada awal 1960-an, kemapanan para saudagar batik ini sedikit terusik seiring dengan radikalisasi politik karena menguatnya komunisme. Pada pemilu lokal tahun 1957, PKI muncul sebagai kekuatan politik terbesar ketiga setelah PNI dan NU. Dengan jumlah massa sekitar 200,000 orang, PKI adalah kekuatan yang cukup diperhitungkan di Banyumas saat itu. Dengan komposisi politik demikian, tidaklah mengherankan jika Banyumas pun tidak luput dari pertumpahan darah tahun 1965. Sokaraja boleh dikatakan malah termasuk terlibat secara emosional dalam drama pertumpahan darah saat itu karena salah satu putra daerahnya, Jenderal Soeprapto, adalah salah satu korban yang diculik dan dibunuh di Lubang Buaya.

Seperti juga koleganya di Jawa timur, Banser termasuk tulang punggung dalam proses pembersihan orang-orang yang diduga komunis. Sokaraja pun bukan pengecualian. Pada masa itu, Sokaraja Wetan dan Sokaraja Kidul merupakan basis terkuat PKI. Tokoh-tokohnya adalah para pegawai kereta api di Stasiun Sokaraja. Pak Iskandar Tirta Brata, tokoh Sokaraja Wetan dan kebetulan yang pada saat itu menjadi Panglima Banser Banyumas, memberi kesaksian bahwa di Banyumas, pertumpahan darah bisa segera diredam oleh para kyai.[7] Ini tidak berarti bahwa tidak ada korban dari kalangan komunis, tapi untuk Sokaraja secara khusus dan Banyumas secara umum, skalanya tidaklah semasif seperti di daerah lain. Sayangnya, tidak ada catatan pasti berapa jumlah korban yang tewas dari kalangan komunis pada saat itu. Reportase seorang jurnalis Australia yang dimuat di Economist pada bulan Oktober 1965 tentang pembersihan komunis di Banyumas juga hanya menyinggung sekilas tentang metode pembunuhan dan penculikan atas mereka yang diduga anasir komunis tapi tidak menyebutkan berapa jumlah korban.

Peristiwa pembersihan pengikut komunis di Sokaraja mungkin ada kaitannya dengan konflik antara lingkaran kemapanan para saudagar batik dan pengikut komunis yang biasanya para petani miskin. Sumber konfliknya biasanya adalah soal tanah. Hal ini karena saudagar batik biasanya dikenal juga sebagai para tuan tanah. Mereka menguasai lahan-lahan pertanian yang luas sebagai hasil dari akumulasi keuntungan yang mereka dapatkan dari perniagaan batik. Sampai sekarangpun, persoalan tanah adalah persoalan sensitif di Sokaraja, terutama di daerah Sokaraja Kidul dan Wetan yang kebetulan juga menjadi benteng kaum abangan.

Kejayaan para pengusaha batik Sokaraja berakhir sejak naiknya Orde pada pertengahan dekade 1960-an. Hal ini karena para teknokrat yang menjadi tulang punggung perumusan kebijakan ekonomi saat itu segera mencabut berbagai privilege yang dinikmati GKBI. Kebijakan pro pasar ala teknokrat ini segera memukul para pengusaha batik Sokaraja. Dihadapkan pada iklim yang baru, mereka tidak mampu bersaing menghadapi serbuan impor tekstil murah yang membanjiri Indonesia sejak akhir 1960-an. Mereka semakin tenggelam ketika pemerintah juga menggalakkan pengembangan pabrik-pabrik tekstil sebagai bagian dari kebijakan ISI yang menjadi favorit sejak 1973.

Sekarang ini hanya tersisa 52 pengrajin batik di Sokaraja yang sekedar bertahan hidup daripada mencari keuntungan. Koperasi Batik Perbain memang masih memiliki gedung megah 2 lantai di Sokaraja Tengah, tapi skala usaha yang mereka kelola sudah jauh merosot dari pada era keemasan tahun 1950-an.


Islamisasi dan Rasionalisasi Status

Pandangan Geertz tentang Islam Jawa berangkat dari asumsi bahwa hanya reformasi agamalah (baca: modernisme Islam) yang mempunyai potensi untuk mengembangkan sikap rasionalitas instrumental bagi bekerjanya institusi pasar dan birokrasi. Argumennya berangkat dari pembedaannya antara dua kelompok sosial; status group dan market-oriented group di mana modernisme Islam menjadi sumber referensi tindakan bagi kelompok yang berorientasi pasar, sedang elemen non-Islam menopang kemapanan kelompok status. Dalam kerangka ini, kelompok berorientasi pasar dianggap lebih rasional daripada kelompok status dalam mengeksploitasi kesempatan yang disediakan oleh berkembangnya ekonomi pasar.

Namun demikian, trikotomi kelompok sosial (abangan, santri, priyayi) dan dikotomi pandangan keagamaan (Islam vs. Hindu-Budha) dalam tesis Geertz gagal menjelaskan dua hal; 1. pluralitas keagamaan di kalangan masyarakat Jawa, dan
2. dinamika sosial-ekonomi masyarakatnya. Konsekuensi dari dua hal ini, tesis Geertz memiliki kelemahan mendasar untuk menjelaskan kaitan antara agama dan tindakan sosial para pengikutnya, hal yang menjadi konsen utama karyanya tentang Jawa.

Islamisasi yang terus berlanjut di tengah melembaganya pasar kapitalistik adalah adalah dua hal yang harus dijelaskan untuk meruntuhkan tesis Modjokuto-nya Geertz. Kasus Sokaraja menunjukkan bahwa represi politik masa kolonial, politik kerjasama pada masa Jepang, dan patronase negara pasca kemerdekaan menjadi preseden sejarah yang sangat mempengaruhi proses Islamisasi lanjut, hubungan penguasa-rakyat, dan perkembangan sosial-ekonomi di wilayah ini dimana tarekat tetap memainkan peran sebagai kesadaran kolektif untuk menciptakan integrasi sosial dan mengelola konflik.

Praktek beragama ala Sufi, pragmatisme dalam politik dan etik ekonomi produktif banyak mewarnai kesadaran dan menjadi referensi tindakan orang dalam hubungan sosialnya. Sayangnya, kesadaran kolektif absolut seperti tarekat tidak memberi ruang bagi munculnya perbedaan dan radikalisasi. Potensi tarekat dalam mendorong perubahan oleh karenanya menyimpan ambiguitas, karena alih-alih mendorong munculnya rasionalitas instrumental ekonomi pasar yang kapitalistik, dia justru menciptakan justifikasi untuk menopang kelompok-kelompok status yang mapan secara ekonomi.


Innote:

[1] Sokaraja mendapat status istimewa sebagai tempat kedudukan pengurus cabang NU dan Muslimat yang terpisah dan mandiri dari kepengurusan cabang Kabupaten Banyumas. PCNU Sokaraja melebur ke kepengurusan NU Banyumas pada awal tahun 1990-an, sementara kepengurusan cabang Muslimatnya tetap mandiri dari kepengurusan cabang Muslimat Banyumas sampai saat ini. Kyai Raden Mukhtar, konsul NU pertama dan terakhir Banyumas dari tahun 1930-an sampai 1950-an sendiri adalah seorang glontoran (istilah Banyumas untuk pendatang) asli Magelang.

[2] Sekitar tahun 1930-an, Sokaraja juga menjadi pusat pendidikan kader SI (Sarekat Islam). Bahkan ada cerita bahwa Cokroaminoto pernah tinggal beberapa tahun di Sokaraja untuk tujuan ini. Keponakan Cokroaminoto, Ishak Tjokroadisuryo menjadi wakil residen pada masa Jepang dan residen pertama Banyumas pada masa revolusi kemerdekaan. Ishak Tjokroadisuryo adalah sekutu dekat Soekarno dan menjadi salah satu dari sedikit pejabat kolonial pertama masa yang segera menyatakan kesetiaannya pada pemerintahan Republik yang baru berdiri

[3] Kyai Hasan Maulani dibuang ke kampung Jawa di daerah Tondano Sulawesi Utara. Kampung Jawa ini merupakan pemukiman yang didirikan oleh Kyai Modjo dan para pengikutnya, salah seorang pengikut Diponegoro asal Klaten yang dibuang Belanda pada tahun 1831.

[4] Dua khalifah lain adalah Muhammad Hadi, Girikusumo dan Abdullah, Kepatian Tegal.

[5] Sartono Kartodirdjo yang pernah menulis tentang Pemberontakan Petani Banten memberikan konteks bagus suasana politik kolonial pasca pemberontakan Banten.

[6] Kyai Muhammad Ilyas menggariskan bahwa mursyid tarekatnya hanya boleh diturunkan pada keturunan laki-laki garis langsung. Menurut keturunannya, ini ada kaitannya dengan wasiat untuk menjaga tanah wakaf keluarga.

[7] Ada sebuah kebetulan yang menarik bahwa Panglima Besar Banser Jatim (Muhammad Tadjuddin) dan Panglima Besar Banser Jateng (Madori) pada waktu peristiwa 1965 adalah juga orang asli Sokaraja.

Rabu, Agustus 12, 2009

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU


Cerita Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu (SHPD) berawal dari suatu cerita wayang dimana Resi Wisrawa ingin mengajarkan sebuah ilmu Haqeqat kepada Dewi Suksesi . Kemudian Resi Wisrawa juga berkehendak mengajarkannya kepada Prabu Sumali (Ayah Dewi Suksesi).

Kemudian Resi wisrawa bercerita kepada Dewi Suksesi dan Prabu Sumali bahwa SHPD adalah suatu ilmu yang bila ditaati dengan benar maka akan mengenal watak (nafsu-nafsu) dari diri pribadi. Kemudian nafsu-nafsu tersebut dipupuk, dikendalikan dan dikembangkan dibawah “kepemimpinan kesadaran yang bersifat jujur dan baik”. Jika sudah mampu memimpin nafsu2 tersebut maka ilmu tersebut merupakan kunci untuk memahami “isi indraloka” pusat tubuh manusia yang berada di dalam rongga dada manusia, sebagai kunci Rasa Gaib, yang bernilai sama dengan Tuhan YME yang Maha Gaib.

Prabu Sumali sangat tertarik, dan mempersilahkan Resi Wisrawa dan Dewi Suksesi untuk masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk memberikan wejangan yang lebih dalam. Semua wejangan dilaksanakan dengan sangat rahasia, karena SHPD adalah rahasia alam semesta, yang tidakboleh diketahui sembarang orang , mahluk lain baik daratan, lautan, maupun udara. Tetapi karena Prabu Sumali dianggap belum waktunya menerima ilmu itu, maka Prabu Sumali tidak ikut masuk ke sanggar. Jadi hanya Resi Wisrawa dan Dewi Suksesi yang ada didalam sanggar.

Kemudian wejangan dilanjutkan…

Jika seseorang sudah mengetahu kunci rasa gaib itu… maka akan menjadi pemusnah segala macam bahaya… dan tidak ada ilmu lagi yang mengunggulinya… sebab semuanya sudah tercakup dalam “sastra utama” ini… puncak dari segala macam ilmu. Jika para Raksasa, Hewan, semua mahluk mengetahui ilmu ini… Dewa akan membebaskannya dari segala macam petaka.. Jika mati… sempurna kematiannya… rohnya akan berkumpul dengan manusia yang menguasai ilmu ini dan rohnya juga berkumpul dengan para Dewa yang mulia.

Sastrajendra disebut pula sastra ceta… suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran. Keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia. Rahasia mengenai seluruh alam dan perkembangannya.

Untuk mencapai itu manusia harus melewati seluruh syaratnya, sukma dan roh harus manunggal, antara lain dengan cara :
1. Mutih
2. Nyirik
3. Ngebleng
4. Patigeni
Selanjutnya melakukan tapa :
1. Tapa Jasad : mengendalikan/menghentikan gerak tubuh, jangan merasa sakit hati atau menaruh balas dendam. Menerima semua keadaan yang ada dengan kesungguhan hati.
2. Tapa Budi : menghindari perbuatan hina dan tidak jujur
3. Tapa Nafsu : mengendalikan hawa nafsu dan sifat angkara murka dari siri pribadi
4. Tapa Sukma : menenangkan jiwa
5. Tapa Cahya : selalu awas dan waspada, tidak terjebak keadaan yang cemerlang yang dapat mengakibatkan penglihatan yang samar dan saru.
6. Tapa Gesang : berjuag sekuat tenaga kearah kesempurnaan hidup

Sastrajendra adalah “benih seluruh alam semesta”… dan sebagai kunci untuk memahami Rasa Sejati … dengan selalu melakukan instropeksi… untuk mengetahui gerak-gerik Nafsu manusia (Amarah, Alwamah, Supiah, Mutmainah)…

Ditempat lain….

Para Dewata dikahyangan marah…karena Resi Wisrawa berani mengajarkan ilmu tersebut…karena ilmu tersebut ilmu yang dimonopoli para dewa… jika ada manusia yang menguasai ilmu tersebut maka sempurnalah kehidupan manusia… semua mahluk di dunia akan menjadi mahluk sempurna di mata Sang Maha Pencipta. Para Dewa tidak membiarkan hal ini terjadi… maka digoncanglah seluruh bumi… prahara besar melanda seisi alam. Apapun mereka lakukan agar ilmu kasampurnan tersebut tidak dapat dilaksanakan….

Semakin lama ilmu tersebut meresap kedalam Dewi Suksesi… Bethara Guru langsung turun tangan… dan langsung merasuk ke dalam tubuh Dewi Suksesi… dibuatnya Dewi Suksesi supaya birahi terhadap Resi Wisrawa. Tetapi tidak berhasil… dan Resi Wisrawa terus menguraikan ilmu tersebut… dan ilmu tersebut terus merasuk ke dalam Dewi Suksesi… malah Bethara Guru terpental keluar dari tubuh Dewi Sukses Bethara Guru tidak putus asa… dipanggailnya Dewi Uma (permaisuri Bethara Guru)… setrateginya diubah… Bethara Guru masuk ke tubuh Resi Wisrawa dan Dewi Uma masuk kedalam tubuh Dewi Suksesi… langkah kedua Dewa itu berhasil… dan mereka berdua terbakar “api birahi”… dan terjadilah “hubungan” tersebut. Maka Wejangan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu gagal diselesaikan…. Hal ini merupakan aib dan cela yang akan menjadi malapetaka besar dikemudian hari.
Tetapi Apapun hasilnya tetap harus dilalui dalam jalan kehidupan…Resi Wisrawa dan Dewi Suksesi membeberkan apa adanya kepada Ayahnya (Prabu Sumali). Dengan bijaksana Prabu Sumali menerima kenyataan ini… Resi Wisrawa dan Dewi Suksesi resmi menjadi suami-istri…
Demikian cerita Legenda Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu… semoga ada hikmah yang bisa diambil…

(Iwan Agung Prasetyo, 22.00, 10 Agustus 2009, diceritakan dan ditulis secara bebas dari cerita aslinya)