Pages

Kamis, Januari 21, 2010

Perang Yaman Dan Konspirasi Washington


Oleh: Dina Y. Sulaeman

Semua seperti kebetulan. Kebetulan, sepekan sebelum Natal, AS mengebom beberapa lokasi di Yaman yang dicurigai sebagai sarang Al Qaida. Kebetulan juga, di awal Desember, saat mengumumkan penambahan 30.000 pasukan AS ke Afghan, Obama sudah menyebut-nyebut Yaman.

Lalu, kebetulan pula, di malam Natal seorang pemuda Nigeria yang latar belakangnya dengan sangat mudah dilacak bahwa dia punya kecederungan radikal, dan konon punya jaringan dg AL Qaida di Yaman, bisa lolos pemeriksaan di bandara, lalu melenggang naik Northwest 253 menuju Detroit. Padahal, sudah umum diketahui, orang-orang dengan nama Islami pasti mengalami pemeriksaan jauh lebih ketat di bandara-bandara di negara Barat dibanding orang dengan mana ‘biasa’. Kebetulan pula, dia membawa bahan peledak dan kebetulan, ada penumpang lain yang memergokinya. Gagallah upaya peledakan pesawat dengan 300 penumpang itu.

Tidak lama setelah itu, Al Qaida mengirimkan pesan lewat internet mengakui bahwa upaya peledakan Northwest 253 didalangi oleh mereka. Dan sudah bisa ditebak cerita selanjutkan: Para politisi dan media AS beramai-ramai berteriak bahwa Yaman adalah sarang teroris. Obama pun mengeluarkan heroiknya, “Kami akan terus menggunakan semua elemen kekuatan nasional untuk melucuti dan mengalahkan kekerasan kaum ekstrimis yang mengancam kita, tak peduli apa mereka dari Aghanistan, Pakistan, Yaman, atau Somaila, atau dimanapun mereka merencanakan upaya penyerangan terhadap tanah air AS.”

Pemerintahan Obama pun mengumumkan akan menaikkan dana bantuan pemberantasan terorisme kepada pemerintah Yaman 3 kali lipat pada tahun 2010 ini. Sebelumnya, AS menggelontorkan dana sebesar 70 juta dolar AS ke Yaman.

Muncul sederet pertanyaan yang mengindikasikan adanya konspirasi baru Washington. Mengapa semua ‘kebetulan’ itu bisa terjadi? Mengapa Obama sedemikian ngotot ingin melanjutkan perang? Benarkah demi melindungi rakyat AS? Mengapa bukan pengamanan bandara saja yang masih bolong-bolong itu diperkuat? Lalu, menyumbang 4 x 70 dolar AS ke Yaman, di saat perekonomian AS masih sangat kacau akibat krisis global, tidakkah itu justru merugikan rakyat AS sendiri?

Serangkaian pertanyaan lainnya yang menjadi tanda tanya besar. Apakah yang terjadi sebenarnya di Yaman? Mengapa pemerintah Yaman bersikap santai di saat 120 warganya dibantai tentara asing? Siapa sebenarnya yang menjadi sasaran perang anti-terorisme di Yaman?

Strategi Kuno Washington

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, sepak terjang Negeri Paman Sam ini dapat ditelusuri dalam kontek sejarah. Pada tahun 1898, kapal USS Maine secara misterius tenggelam di perairan Kuba. Peritsiwa itu direaksi keras publik AS. Tidak lama setelah itu, meletuslah “Spanish-American War”. Hasilnya, kemenangan ada di pihak AS; hegemoni Spanyol di negara-negara Amerika Selatan bisa dienyahkan dan AS lah yang menjadi dominan di sana.

Tahun 1941, Jepang menyerang Pearl Harbour dan menewaskan lebih dari 2000 personil militer AS. Publik AS marah, dan tentara AS pun mendapat justifikasi untuk melibatkan diri di Perang Dunia II. Kelak kemudian diketahui bahwa Washington sebenarnya sudah tahu ada rencana penyerangan itu, namun tetap diam demi kepentingan yang lebih besar. Pasca PD II, AS pun meraih posisi sebagai kekuatan superpower dunia.

Tahun 1964, bentrokan di Teluk Tonkin memberi justifikasi bagi Presiden Lyndon Johnson untuk memberangkatkan pasukan perangnya di Vietnam. Yang paling mutakhir adalah tahun 2001. Orang-orang yang latar belakangnya sudah diketahui ada jaringan dengan Al Qaida diizinkan masuk AS, ikut pelatihan pilot. Pada akhirnya, kelompok teroris ini dapat menerbangkan pesawat yang kemudian menabrakkan diri ke Menara WTC. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait Peristiwa 11 September: Mengapa pesawat itu bisa lolos dari radar? Sistem pertahanan udara AS sedemikian canggihnya, sehingga bila ada pesawat yang keluar jalur, dalam sekejap squad khusus akan terbang mengejar dan menembaknya. Tapi, kemana semua sistem pertahanan canggih itu?

Tragedi 9/11 memberi justifikasi dan dukungan publik bagi dilancarkannya Perang Melawan Terorisme yang dimulai pada era Bush. Era Obama, isu terorisme tetap dipakai untuk melanjutkan pendudukan Irak, mengeskalasi perang di Afghanistan, lalu memperluasnya ke perbatasan Pakistan, dan kini rencananya, ke Yaman.

Meski AS di tengah krisis berat, namun kelompok elit di negara ini tetap ingin mengeruk keuntungan lebih besar. Rakyat di negara ini banyak kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal. Namun itu adalah problema rakyat, bukan kalangan elit negeri ini. Pengambil keputusan perang bukanlah rakyat. Para pengambil keputusan adalah pemilik saham di perusahaan-perusahaan minyak, senjata, bahkan perusahaan keamanan privat. Perang adalah industri dan tambang uang.

Kawasan Strategis Yaman

Somalia berbatasan dengan Arab Saudi di utara, Laut Merah di Barat, Teluk Aden dan Laut Arab di selatan. Di seberang Teluk Aden, juga ada Somalia dan Jibouti. Di sebelah Jibouti berderet Eritrea, Sudan, dan Mesir. Dengan demikian, semua negara itu saling berhadapan dengan Selat Mandab (Bab el Mandab) yang super-strategis. Tanker-tanker minyak dari Teluk Persia harus lewat ke Selat Mandab, baru kemudian melewati Kanal Suez, dan menuju Mediterania.

William Engdahl dari Global Research menganalisis bahwa jika AS punya alasan yang diterima opini publik internasional untuk memiliterisasi Selat Mandab, AS akan punya kartu truf di hadapan Uni Eropa dan China. Suplai energi China dan Eropa sangat bergantung pada Selat Mandab. Lebih dari itu, Selat Mandab bisa dipakai AS untuk menekan Arab Saudi agar tetap melakukan transaksi dalam dollar Amerika . Belum lama, media-media Arab Saudi dan beberapa negara lainnya, termasuk Iran, pernah melontarkan keinginan untuk melakukan transaksi selain mata uang dolar.

Selain itu, Engdahl menyebutkan adanya informasi dari Washington bahwa ada sumber minyak yang luar biasa besar di Yaman, yang sama sekali belum dieksplorasi.

Engdahl kemudian menyoroti kasus bajak laut Somalia yang membuat kacau di Selat Mandab selama dua tahun terakhir. Pertanyaannya: Bagaimana mungkin bajak laut dari negara gagal ranking satu sampai punya senjata dan logistik yang canggih, bahkan dalam dua tahun terakhir mampu membajak 80 kapal dari berbagai negara? Bahkan pembajak Somalia itu memakai gaya-gaya penjahat di negara maju seperti menelpon langsung kantor koran Times di Inggris, memberitahukan bahwa mereka sudah membajak.

Merajalelanya perompak Somalia di Selat Mandab memberi alasan kepada AS untuk menaruh kapal perangnya di sana. Pemerintah Mesir, Sudan, Jibouti, Eritrea, Somalia, Arab Saudi, sudah terkooptasi oleh AS sehingga diperkirakan tidak akan memberikan reaksi negatif bagi militerisasi AS di Selat Mandab. Kini, masih ada satu negara di sekeliling Selat Mandab yang masih perlu ditaklukkan. Negara itu adalah Yaman.

Pemerintah Yaman memang pro-AS, tapi masalahnya, Presiden Ali Abdullah Saleh tidak cukup kuat untuk mengontrol negaranya. Republik Yaman baru terbentuk pada tahun 1990 dengan menyatukan Yaman Utara dan Yaman Selatan. Perang saudara di Yaman sudah lama berlangsung dan pemerintah Yaman tak mampu mengontrolnya. Karena itu, strategi yang selama ini dipakai AS di Irak akan diulangi lagi. Dengan cara itu, AS bisa menguasai Yaman dan mengatur negara ini agar sesuai dengan kehendak AS. Untuk mengendalikan Yaman, AS akan menjadikan negara ini sibuk dengan konflik internal. Setelah itu, Washington akan mendukung satu kelompok dalam melemahkan kelompok yang lain.

Kali ini, kelompok yang dijadikan kambing hitam lebih dari satu. Di Yaman Utara ada gerakan Houthi yang dipimpin Husein Al-Houthi (bermazhab Syiah Zaidiyah), sedanngkan di Yaman selatan ada Southern Movement Coalition yang dipimpin Al Fadhli (yang bermazhab Sunni Salafi). Kedua kelompok ini selama bertahun-tahun beroposisi pada Presiden Saleh yang dianggap despotik.

Untuk memberangus Houthi, isu Syiah dan Iran dihembus-hembuskan, bahkan media-media Islam Indonesia seperti Sabili dan era Muslim ikut arus tersebut. Houthi dituduh ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Presiden Saleh yang juga seorang Sunni dan mendapatkan bantuan Iran untuk mendirikan negara Syiah. Bahkan, Arab Saudi dan AS ikut membantu pemerintah Yaman dengan membombardir wilayah Yaman utara pada pertengahan Desember 2009.

Sedangkan untuk membungkan perlawanan kaum Sunni di Yaman Selatan, tak lain tak bukan: isu terorisme dihembuskan. Tiba-tiba saja, Al Qaida buka ‘cabang’ di Yaman, lalu ada agennya yang membawa bahan peledak di pesawat AS. Washington pun menggelontorkan dana ratusan juta dollar untuk membantu Presiden Saleh memberantas terorisme. Jauh-jauh hari, Al Fadhli, pemimpin gerakan Koalisi Selatan yang beraliran Salafi dalam wawancaranya Al-Sharq al-Awsat (14/5/ 2009) membantah keras keterkaitannya dengan Al Qaida. Namun, ‘kebetulan’ pula, pada hari yang sama, Al Wahasyhi, pimpinan Al Qaida’cabang Yaman’ menyatakan dukungannya pada perjuangan Al Fadhli. Inilah konspirasi kebetulan Setan Besar AS. (Tulisan ini disadur dari catatan analis politik Timur Tengah, Dina Y. Suleiman)

Source: irib, dinasulaeman


0 komentar